Senin, 15 Desember 2014

Pengertian Hukum Menurut Para Ahli Hukum


1. Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.

2. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.

3. Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).

4. Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.

5. Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.

6. Duguit, hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.

7. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.

8. Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.

9. Van Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan.

10. S.M. Amir, S.H.: hukum adalah peraturan, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.

11. E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.

12. M.H. Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.

13. J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H. bahwa hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.

14. Soerojo Wignjodipoero, S.H. hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

15. Dr. Soejono Dirdjosisworo, S.H. menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1) hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim dan sebagainya), (2) hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak hukum), (3) hukum dalam arti sikap tindak, (4) hukum dalam arti sistem kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan nilai (tujuan hukum), (6) hukum dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti ilmu hukum, (8) hukum dalam arti disiplin hukum.

16. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Purnadi Purbacaraka, S.H. menyebutkan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut:

a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.

b. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.

c. Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.

d. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu.

e. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.

f. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa.

g. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara unsur-unsur pokok sistem kenegaraan.

h. Hukum sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.

i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang siagap baik dan buruk.

17. Otje Salman, S.H.: dilihat dari kenyataan sehari-hari di lingkungan masyarakat mengartikan atau memberi arti pada hukum terlepas dar apakah itu benar atau keliru, sebagai berikut:

a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, diberikan oleh kalangan ilmuan.

b. Hukum sebagai disiplin, diberikan oleh filosof, teoritis dan politisi (politik hukum).

c. Hukum sebagai kaidah, diberikan oleh filosof, orang yang bijaksana.

d. Hukum sebagai Lembaga Sosial, diberika oleh filosof, ahli Sosiaologi Hukum.

e. Hukum sebagai tata hukum, diberikan oleh DPR. Dan eksekutif (di Indonesia).

f. Hukum sebagai petugas, diberikan oleh tukang beca, pedagang kaki lima.

g. Hukum sebagai keputusan penguasa, diberikan oleh atasan dan bawahan dalam suatu Instansi atau lembaga negara.

h. Hukum sebagai proses pemerintah, diberika oleh anggota dan pimpinan eksekutif.

i. Hukum sebagai sarana sistem pengandalian sosial, diberikan oleh para pembentuk dan pelaksana hukum.

j. Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan ajeg, diberikan oleh anggota dan pemuka masyarakat.

k. Hukum sebagai nilai-nilai diberikan oleh filosof, teorotis (ahli yurisprudence).

l. Hukum sebagai seni, diberikan oleh mereka yang peka terhadap lingkungannya; ahli karikatur.

Tujuan Hukum Menurut Para Ahli


Tujuan Hukum Menurut Para Ahli

Ini adalah Coretan khusus saya yang diambil dari beberapa referensi Internet mengenai definisi dan seputar pengertian/arti dari hukum itu sendiri.
Hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan hidup suatu masyarakat yang bersifat kendalikan, mencegah, mengikat, memaksa.Dinyatakan atau dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tata yang dikehendaki oleh penguasa tersebut.
Dengan kata lain Hukum merupakan serangkaian aturan yang berisi perintah ataupun larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang aman, tertib, damai dan tentram,serta terdapat sanksi bagi siapapun yang melanggarnya.Tujuan dari hukum mempunyai  sifat universal seperti  ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya hukum maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.


Hukum Menurut Para Ahli

Eksistensi hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adalah memiliki tujuan yang ingin diwujudkan. Tujuan secara etimologi adalah sesuatu yang ingin dicapai atau diwujudkan oleh hukum. Terdapat beragam pendapat mengenai Tujuan Hukum Menurut Pemikiran Para Ahli

Berikut ini akan kita mengulas beberapa pendapat mengenai pemikiran Hukum Menurut Pemikiran Para Ahli
Aristoteles
§  Sesuatu yang berbeda dari sekedar mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.
§  Hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
Karl Max
§  Suatu pencerminan dari hubungan hukum ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan tertentu.
Thomas Aquinas
§  Hukum berasal dari Tuhan, maka dari itu hukum tidak boleh dilanggar.
Plato
§  Hukum merupakan peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
Grotius
§  Perbuatan tentang moral yang menjamin keadilan.
Van Vanenhoven
§  Suatu gejala dalam pergaulan hidup yang bergolak terus menerus dalam keadaan berbenturan tanpa henti dari gejala-gejala lain.
Hugo de Grotius
§  Peraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan pada peraturan hukum tentang kemerdekaan (law is rule of moral action obligation to that which is right).
Van Kan
§  Keseluruhan aturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat.
Leon Duguit
§  Semua aturan tingkah laku para angota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh anggota masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan jika yang dlanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
Immanuel Kant
§  Keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.
E Utrecht
§  Himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan.
Eugen Ehrlich
§  Sesuatu yang berkaitan dengan fungsi kemasyarakatan dan memandang sumber hukum hanya dari legal story and jurisprudence dan living law.
Roscoe Pound
§  Sebagai tata hukum mempunyai pokok bahasan hubungan antara manusia dengan individulainnya, dan hukum merupakan tingkah laku para individu yang mempengaruhi individulainnya. Adapun hukum sebagai kumpulan dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif Law as a tool of social engineering
Hans Kelsen
§  Suatu perintah terhadap tingkah laku manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.
John Austin
§  Seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada warga rakyatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen dimana pihak yang berkuasa memiliki otoritas yang tertinggi.
Karl Von Savigny
§  Aturan yang terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan, dan kebiasaan warga masyarakat.
Llywellin
§  Apa yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan.
Paul Scholten
§  Suatu petunjuk tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan, yang bersifat perintah.
Thomas Hobbes
§  Sebuah kata seseorang yang dengan haknya telah memerintah pada yang lain.
M J Van ApelDorn
§  Sebagai gejala dalam masyarakat, maka keseluruhan kebiasaan-kebiasaan hukum yangberlaku dalam masyarakat adalah objek dari ilmu hukum.
Menurut Prof. Subekti SH.,
         tujuan hukum adalah mengabadi pada tujuan negara yang pada pokoknya tujuan negara adalah mewujudkan kemakmuran dan memberikan kebahagiaan pada rakyat di negaranya. Tujuan hukum tidak hanya untuk memperoleh keadilan tetapi harus ada keseimbangan antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan keadilan hukum. Hal tersebut dinyatakan dalam bukunya yang berjudul Dasar-dasar hukum dan pengadilan.
Menurut Prof.Mr. Dr. L.J Van Apeldoorn,
         tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup manusia secara damai karena hukum menghendaki perdamaian. Hal itu dinyatakan dalam bukunya yang berjudul Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht.
Menurut Jeremy Bentham,
         tujuan hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan apa yang berfaedah bagi orang. Jeremy Bentham adalah seorang yang menganut teori utilistis. Hal ini dinyatakan dalam bukunya yang berjudul Introduction to the morals legislation.
Menurut Geny,
         tujuan hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Di dalam keadilan tersebut, terdapat unsur yang dikatakan kepentingan daya guna dan kemanfaatan. Hal tersebut dinyatakan Geny dalam Science et technique en droit prive positif.

Soerjono Soekamto Mempunyai berbagai arti:
1. Hukum dalam arti ilmu (pengetahuan)hukum
2. Hukum dalam arti disiplin atau sistemajaran tentang kenyataan
3. Hukum dalam arti kadah atau norma
4. Hukum dalam ari tata hukum/hukum positftertulis
5. Hukum dalam arti keputusan pejabat
6. Hukum dalam arti petugas
7. Hukum dalam arti proses pemerintah
8. Hukum dalam arti perilaku yang teraturatau ajeg
9. Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai
Menurut Tullius Cicerco (Romawi) dala “ De Legibus”:
§  Hukum adalahakal tertinggi yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Hugo Grotius (Hugo de Grot) dalam “ De Jure Belli Pacis” (Hukum Perang dan Damai), 1625:
§  Hukum adalah aturan tentang tindakan moral yang mewajibkan apa yang benar.
J.C.T. Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto, SH mengatakan bahwa :
§  Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.
Thomas Hobbes dalam “ Leviathan”, 1651:
§  Hukum adalah perintah-perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan memaksakan perintahnya kepada orang lain.
Rudolf von Jhering dalam “ Der Zweck Im Recht” 1877-1882:
§  Hukum adalahkeseluruhan peraturan yang memaksa yang berlaku dalam suatu Negara.
E. Utrecht
§  Hukum merupakan himpunan petunjuk hidup – perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah/penguasa itu.
R. Soeroso SH
§  Hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
Abdulkadir Muhammad, SH
§  Hukum adalah segala peraturan tertulis dan tidak tertulis yang mempunyai sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Mochtar Kusumaatmadja dalam “Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976:15):
§  Pengertian hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.
Itulah sekelumit tujuan hukum menurut pemikiran para ahli. Sesungguhnya masih banyak lagi pendapat mengenai tujuan hukum menurut pemikiran para ahli, namun hal tersebut akan diurai lebih jauh dalam artikel-artikel yang selanjutnya.

Sejarah Hukum Indonesia



SEJARAH HUKUM INDONESIA


Sejarah Hukum adalah bidang studi tentang bagaimana hukum berkembang dan apa yang menyebabkan perubahannya. Sejarah hukum erat terkait dengan perkembangan peradaban dan ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dari sejarah sosial. Sumbangan ilmu ini lebih muda usianya dibandingkan dengan sosiologi hukum. Berkaitan dengan masalah ini Soedjono, D., menjelaskan bahwa : “Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi oleh perbedaan waktu. (Sudarsono, hal. 261).
Demikian juga hal yang senada diungkapkan oleh Menteri Kehakiman dalam pidato sambutan dan pengarahan pada simposium Sejarah Hukum (Jakarta 1-3 April 1975) dimana dinyatakan bahwa :
“Perbincangan sejarah hukum mempunyai arti penting dalam rangka pembinaan hukum nasional, oleh karena usaha pembinaan hukum tidak saja memerlukan bahan-bahan tentang perkembangan hukum masa kini saja, akan tetapi juga bahan-bahan mengenai perkembangan dari masa lampau. Melalui sejarah hukum kita akan mampu menjajaki berbagai aspek hukum Indonesia pada masa yang lalu, hal mana akan dapat memberikan bantuan kepada kita untuk memahami kaidah-kaidah serta institusi-institusi hukum yang ada dewasa ini dalam masyarakat bangsa kita” (Soerjono Soekanto hal, 9).
Apa yang sejak lama disebut sejarah hukum, sebenarnya tak lain dari pada pertelaahan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, jadi adalah kronik hukum. Dahulu sejarah hukum yang demikian itupun disebut “antiquiteiter”, suatu nama yang cocok benar. Sejarah adalah suatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak; bukan mati, melainkan hidup.
Hukum sebagai gejala sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus menerus. Pengertian tumbuh membuat dua arti yaitu perubahan dan stabilitas.
Hukum tumbuh, berarti bahwa ada terdapat hubungan yang erat, sambung-menyambung atau hubungan yang tak terputus-putus antara hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau.
Hukum pada masa kini dan hukum pada masa lampau merupakan satu kesatuan. Itu berarti, bahwa kita dapat mengerti hukum kita pada masa kini, hanya dengan penyelidikan sejarah, bahwa mempelajari hukum secara ilmu pengetahuan harus bersifat juga mempelajari sejarah. (Van Apeldroon, hal. 417).
SEJARAH HUKUM INDONESIA
Berbicara sejarah hukum di Indonesia sama saja kita berbicara tentang sejarah Indonesia itu sendiri, karena hukum di Indonesia merupakan bagian dari perjalanan sejarah bangsa. Kalau boleh kita petakan, perjalanan hukum di Indonesia dapat kita bagi menjadi 3 masa yaitu:
  1. Masa sebelum penjajahan (pra kolonial)
Pada masa ini hukum lebih di dominasi oleh aturan adat atau kebiasaan yang sudah berkembang di masyarakat.
  1. Masa kolonial
Belanda sebagai negara yang pernah menjajah Indonesia selama 250 tahun lebih tentunya pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan sejarah hukum di Indonesia. Bahkan produk hukum di Indonesia banyak sekali mereduksi dari produk hukum yang dibikin Belanda. Sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi-Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat berbagai revolusi, mulai dari “Papal Revolution” hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di Perancis pada akhir abad 19. Sejalan dengan alur sejarah hukum Hindia Belanda yang banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi dimasa VOC, Daendels, dan Raffles, berbagai perbaikan penting diperkenalkan sesudah tahun 1848. Sejenis konstitusi, kitab-kitab hukum baru, reorganisasi peradilan sebagai akibat gelombang liberalisme yang berasal dari Belanda. Dimasa itu bahkan sempat diintroduksikan oleh pemerintah jajahan bahwa penduduk Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan penduduk. Ketiga golongan yaitu: (1) Golongan Eropa (Europeanen) dan mereka yang dipersamakan dengannya; (2) Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen); dan (3) Golongan Bumi Putera (Inlanders). Untuk tiap golongan penduduk tersebut berlaku hukumnya sendiri-sendiri. Asas utamanya adalah hukum adat bagi orang Indonesia (Bumi Putera) dan orang-orang yang digolongkan sama dengan pribumi, sedangkan hukum Belanda bagi orang-orang Eropa. Namun demikian karena sebab-sebab yang jelas dan masuk akal asas tersebut benar-benar tidak berlaku. Seperti yang dikemukakan Daniel S. Lev, bahwa “perlakuan terhadap hukum adat setempat adalah salah satu tema yang paling membingungkan dan bermakna ganda dalam sejarah kolonial Indonesia.” Bahkan menurut Soetandyo, penggolongan rakyat yang tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan kolonial itu mengisyaratkan tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme hukum kolonial di Indonesia.
  1. 3.     Masa pasca kolonial
Pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang masing-masing terbuka untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya serta sistem hukum rakyat dengan segala keanekaragamannya. Pada dasarnya dan pada awalnya pemuka-pemuka nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba sedapat-dapatnya melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial yang tidak mudah. Inilah periode awal dengan keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional. Akan tetapi dalam kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasinya ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya dalam doktrin.7 Menurut Lev, para advokat Indonesia ketika itu dan juga sejumlah besar cendekiawan lainnya menginginkan negara yang terutama bersistem hukum corak Eropa yang berlaku di masa kolonial. Hal itu agaknya terjadi karena berbagai kesulitan yang diduga oleh Soetandyo telah timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tak terumus secara eksplisit itu, akan tetapi juga karena sistem pengelolaannya sebagai suatu tata hukum yang modern (melihat tata organisasi, prosedur-prosedur, dan asas-asas doktrinal pengadaan dan penegakannya, serta pula rofesionalisasi penyelenggaraannya) telah terlanjur tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial yang tak akan mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat.

Kekuatan moral hukum progresif sebagai das Sollen
Membangun kekuatan hukum yang bermoral dan berkeadilan untuk mematahkan kekuatan pro status quo sungguh merupakan upaya yang tidak ringan. Upaya tersebut tentu saja harus dimulai dari bawah dan tidak dari atas. Dari bawah maknanya, proses pendidikan hukum yang selama ini berlangsung di Indonesia hendaknya berbenah dan mengubah haluan. Fakultas-fakultas hukum tidak sekedar mendidik mahasiswa hukum yang akan menjadi calon-calon tukang menerapkan hukum positif yang kerjanya seperti robot yang tidak bernurani, melainkan harus mendidik manusia-manusia yang memahami hukum sambil menata dan mengasah qalbunya atau nuraninya agar dalam menekuni profesi mereka menegakkan hukum yang bersangkutan mampu berpihak pada kata hatinya yang paling dalam. Proses tersebut harus tercermin dalam usaha pembaharuan pendidikan hukum di tanah air kita, yang mengarah pada perubahan sikap seseorang terhadap masalah yang dihadapi bangsa ini. Hal itu harus dilakukan sebagai imbangan dari pendidikan tinggi hukum yang berpretensi “akademis universiter” atau “teoritis ilmiah”39 namun kurang menyentuh nurani para peserta didik, sehingga berakibat bekunya nurani mereka. Oleh karena itu, para peserta didik di fakultas-fakultas hukum di Indonesia ke depan jangan lagi hanya diarahkan untuk memiliki skills sebagai tukang menerapkan hukum positif tetapi kurang cerdas spiritual dan emosionalnya dalam memaknai persoalan bangsanya sendiri. Untuk itu maka, kurikulum fakultas hukum orientasinya tidak saja terbatas pada pengajaran profesional skills, tetapi harus meliputi juga etika dan moral profesional (professional ethics and moral), tanggung jawab profesional (professional responsibility), serta manajemen qalbu (spiritual management), sehingga para mahasiswa yang akan menjadi lulusan fakultas hukum diharapkan tidak hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga cerdas secara emosional, dan juga cerdas spiritualnya. Ketiga faktor yang amat penting dalam pembentukan watak atau karakter setiap manusia itu jika secara kumulatif disatukan dalam penggemblengan kader-kader calon penegak hukum, makainsya Allah kekuatan moral hukum progresif tidak sekedar menjadi harapan (das sollen) melainkan akan terwujud dalam kenyataan (das sein) di masa datang.
Penutup
Sebagai penutup, berikut ini disajikan beberapa simpulan serta rekomendasi.
1. Kondisi apa pun yang terjadi pada saat ini, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam penegakan hukum di Indonesia, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari rangkaian peristiwa serta kondisi objektif masa lalu sebagai latar belakang.
2. Keinginan kuat untuk memodernisasikan hukum di Indonesia yang merdeka dan berdaulat, merupakan salah satu alasan memilih untuk melanjutkan keadaan serta sistem hukum masa kolonial. Pertimbangan itu diambil karena untuk memilih hukum rakyat Indonesia sendiri juga dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah, sebab hukum rakyat disamping tidak tertulis juga sangat pluralistik adanya. Oleh sebab itu, setelah melalui serangkaian pengkajian dan pertimbangan, keputusan memilih untuk menggunakan hukum tertulis dengan sistem kodifikasi sebagai pelanjutan keadaan (status quo) masa kolonial, semata-mata didasarkan pada pertimbangan segi kepraktisan dan kepastian.
3. Setelah melampaui proses pengujian melalui perjalanan waktu, penggunaan hukum tertulis yang dipositipkan penguasa itu ternyata tidak selalu sesuai dengan harapan masyarakat yang mencari keadilan. Keadilan yang diberikan oleh para penegak hukum dirasakan hanya sebatas keadilan hukum (legal justice) dan sama sekali tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat(substantial justice). Akibatnya, penegakan hukum di negeri ini tampak jelas carut marutnya. Oleh karena yang terjadi adalah “penegakan hukum semu” (pseudo law enforcement). Suatu keadaan dimana seolah-olah telah dilakukan penegakan hukum, padahal sesungguhnya aparat penegak hukum sama sekali tidak melakukan apa pun yang sesuai dengan harapan masyarakat.
4. Seruan untuk menggalang kekuatan dalam wadah gerakan moral yang disebut “kekuatan hukum progresif “ sebagai sebuah kekuatan hukum anti-status quo sesungguhnya merupakan respons terhadap keadaan pseudo law enforcement tadi. Tanpa menafikan kehadiran hukum positif, kekuatan hukum progresif harus diberi makna yang lebih makro. Artinya, sebagai suatu gerakan moral dari sejumlah kekuatan yang dapat terdiri atas para ahli hukum (baik sebagai pendidik, aparatur penegak hukum, maupun birokrat), mereka harus bersatu untuk secara pro-aktif mengupayakan agar proses pendidikan, pengembangan, maupun penegakan hukum di Indonesia berpihak dan mengutamakan keadilan bagi sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia
5. Semua itu hanya mungkin dapat dilakukan secara berkesinambungan apabila tunas-tunas bangsa yang sedang dipersiapkan untuk menjadi ahli hukum di masa-masa mendatang juga diubah proses pembelajarannya. Adalah conditio sine qua nonterhadap mereka calon-calon sarjana hukum Indonesia masa depan itu pembelajarannya dilengkapi dengan pendidikan budi pekerti, etika serta moral keagamaan yang kuat, sehingga kecerdasan intelektual mereka akan tumbuh secara simultan bersama kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

sumber : http://advokat.blogger.or.id/sejarah-hukum-indonesia/

PENGERTIAN HUKUM PIDANA


Hukum Pidana, sebagai salah satu bagian independen dari Hukum Publik merupakan salah satu instrumen hukum yang sangat urgen eksistensinya sejak zaman dahulu. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari ancaman tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) merupakan “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya. 

A. Definisi Hukum Pidana
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah:
• Pembunuhan
• Pencurian
• Penipuan
• Perampokan
• Penganiayaan
• Pemerkosaan
• Korupsi
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dilarang oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, prosedur yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta hukuman yang ditetapkan atas terdakwa.”
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
• Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
• Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
• Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.


B. Tujuan Hukum Pidana
Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
• Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.
• Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.
Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai seseorang melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu hukum pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu hukum pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.

C. Klasifikasi Hukum Pidana
Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum pidana
Dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
• Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.
• Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.
Dr. Mansur Sa’id Isma’il dalam diktat “Hukum Acara Pidana”-nya memaparkan defenisi Hukum Acara Pidana sebagai ”kumpulan kaidah-kaidah yang mengatur dakwa pidana—mulai dari prosedur pelaksanaannya sejak waktu terjadinya pidana sampai penetapan hukum atasnya, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum yang tumbuh dari prosedur tersebut—baik yang berkaitan dengan dugaan pidana maupun dugaan perdata yang merupakan dakwa turunan dari dakwa pidana, dan juga pelaksanaan peradilannnya.”. Dari sini, jelas bahwa substansi Hukum Acara Pidana meliputi:
• Dakwa Pidana, sejak waktu terjadinya tindak pidana sampai berakhirnya hukum atasnya dengan beragam tingkatannya.
• Dakwa Perdata, yang sering terjadi akibat dari tindak pidana dan yang diangkat sebagai dakwa turunan dari dakwa pidana.
• Pelaksanaan Peradilan, yang meniscayakan campur-tangan pengadilan.
Dan atas dasar ini, Hukum Acara Pidana, sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang merupakan tujuan pelaksanaannya, dikategorikan sebagai cabang dari Hukum Publik, karena sifat global sebagian besar dakwa pidana yang diaturnya dan karena terkait dengan kepentingan Negara dalam menjamin efisiensi Hukum Kriminal. Oleh sebab itu, Undang-Undang Hukum Acara ditujukan untuk permasalahan-permasalahan yang relatif rumit dan kompleks, karena harus menjamin keselarasan antara hak masyarakat dalam menghukum pelaku pidana, dan hak pelaku pidana tersebut atas jaminan kebebasannya dan nama baiknya, dan jika memungkinkan juga, berikut pembelaan atasnya. Untuk mewujudkan tujuan ini, para ahli telah bersepakat bahwa Hukum Acara Pidana harus benar-benar menjamin kedua belah pihak—pelaku pidana dan korban.
Hukum Pidana dalam arti Dalam arti Subyektif, yang disebut juga “Ius Puniendi”, yaitu “sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang”.

D. Ruang Lingkup Hukum Pidana
Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana atau delik ataupun tindak pidana. Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Jadi unsur-unsur peristiwa pidana, yaitu:.
• Sikap tindak atau perikelakuan manusia
. Melanggar hukum, kecuali bila ada dasar pembenaran; Didasarkan pada kesalahan, kecuali bila ada dasar penghapusan kesalahan.
Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi adalah
- Perilaku manusia ; Bila seekor singa membunuh seorang anak maka singa tidak dapat dihukum
- Terjadi dalam suatu keadaan, dimana sikap tindak tersebut melanggar hukum,
misalnya anak yang bermain bola menyebabkan pecahnya kaca rumah orang.
- Pelaku harus mengetahui atau sepantasnya mengetahui tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum; Dengan pecahnya kaca jendela rumah orang tersebut tentu diketahui oleh yang melakukannya bahwa akan menimbulkan kerugian orang lain.
- Tidak ada penyimpangan kejiwaan yang mempengaruhi sikap tindak tersebut.Orang yang memecahkan kaca tersebut adalah orang yang sehat dan bukan orang yang cacat mental.
Dilihat dari perumusannya, maka peristiwa pidana/delik dapat dibedakan dalam :
• Delik formil, tekanan perumusan delik ini ialah sikap tindak atau perikelakuan yang dilarang tanpa merumuskan akibatnya.
• Delik materiil, tekanan perumusan delik ini adalah akibat dari suatu sikap tindak atau perikelakuan.
Misalnya pasal 359 KUHP :
Dalam Hukum Pidana ada suatu adagium yang berbunyi : “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum tanpa ada peraturan yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Ketentuan inilah yang disebut sebagai asas legalitas .
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya kitab undang-undang hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum pidana, ialah
1. Asas Teritorialitas (teritorialitets beginsel)
2. Asas nasionalitas aktif (actief nationaliteitsbeginsel)
3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nationaliteitsbeginsel)

E. Sistem Hukuman
Sistem hukuman yang dicantumkan dalam pasal 10 tentang pidana pokok dan tambahan, menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofd straffen ).
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
b. Hukuman Tambahan (Bijkomende staffen)
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim.

sumber :
 http://suflasaint.blogspot.com/2010/04/pengertian-hukum-pidana.html

TEORI HUKUM PEMBANGUNAN PROF. DR. MOCHTAR KUSUMAATMADJA, S.H., LL.


*) Sebuah Kajian Deskriftif Analitis
Oleh: Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H. 1
I. Pendahuluan
Pada dasarnya, dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka
salah satu teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan
masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmaja, S.H., LL.M. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa Teori
Hukum Pembangunan tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila
dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut: Pertama, Teori
Hukum Pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di
Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan
kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori
hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan
kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan
sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka
acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia
berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma,
asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan
tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur),
culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence
W. Friedman.
2 Ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan


1 Penulis adalah Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, penulis Buku
Ilmu Hukum, dan kini Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa
Timur

2 Lawrence W. Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of
the law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York,
1984, hlm. 1-8. dan pada Legal Culture and Social Development, Stanford Law Review,
New York, hlm. 1002-1010 serta dalam Law in America: a Short History, Modern Library
Chronicles Book, New York, 2002, hlm. 4-7 menentukan pengertian struktur adalah,
“The structure of a system is its skeleton framework; it is the permanent shape, the institutional
body of the system, the though rigid nones that keep the process flowing within bounds..”,
kemudian substansi dirumuskan sebagai, “The substance is composed of substantive rules 2
dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”3
(law as a tool
social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi
bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.4
II. Dimensi dan ruang lingkup teori hukum pembangunan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M.
Dikaji dari perspektif sejarahnya maka sekitar tahun tujuh puluhan lahir
Teori Hukum Pembangunan dan elaborasinya bukanlah dimaksudkan
penggagasnya sebagai sebuah “teori” melainkan “konsep” pembinaan hukum
yang dimodifikasi dan diadaptasi dari teori Roscoe Pound “Law as a tool of
social engineering” yang berkembang di Amerika Serikat. Apabila dijabarkan
lebih lanjut maka secara teoritis Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. dipengaruhi cara berpikir dari Herold
D. Laswell dan Myres S. Mc Dougal (Policy Approach) ditambah dengan teori
Hukum dari Roscoe Pound (minus konsepsi mekanisnya). Mochtar mengolah
semua masukan tersebut dan menyesuaikannya pada kondisi Indonesia.5
Ada
sisi menarik dari teori yang disampaikan Laswell dan Mc Dougal dimana
diperlihatkan betapa pentingnya kerja sama antara pengemban hukum teoritis
dan penstudi pada umumnya (scholars) serta pengemban hukum praktis
(specialists in decision) dalam proses melahirkan suatu kebijakan publik, yang di
satu sisi efektif secara politis, namun di sisi lainnya juga bersifat mencerahkan.
Oleh karena itu maka Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar

and rules about how institutions should behave,” dan budaya hukum dirumuskan sebagai,
“The legal culture, system their beliefs, values, ideas and expectation. Legal culture refers, then,
to those ports of general culture customs, opinions ways of doing and thinking that bend social
forces toward from the law and in particular ways.”

3Pada dasarnya, fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law
as a tool of social engeneering) relative masih sesuai dengan pembangunan hukum
nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi dengan pemberdayaan birokrasi
(beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau kepemimpinan,
sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi
antara elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut “beureucratic
and social engineering” (BSE). Lihat Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan
Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 7.

4Terhadap eksistensi Hukum sebagai suatu system dapat diteliti lebih
detail dan terperinci pada: Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai
Suatu Sistem, Penerbit: CV. Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 5 dstnya

5Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan,Penerbit
CV Utomo, Jakarta, 2006, hlm. 4113
Kusumaatmadja, S.H., LL.M. memperagakan pola kerja sama dengan
melibatkan keseluruhan stakeholders yang ada dalam komunitas sosial tersebut.
Dalam proses tersebut maka Mochtar Kusumaatmadja menambahkan
adanya tujuan pragmatis (demi pembangunan) sebagaimana masukan dari
Roescoe Pound dan Eugen Ehrlich dimana terlihat korelasi antara pernyataan
Laswell dan Mc Dougal bahwa kerja sama antara penstudi hukum dan
pengemban hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori hukum
(theory about law), teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan
praktis. Mochtar Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian
hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk
membangunan masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep
tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan
dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa
hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia
kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh
karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk
tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Lebih jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana
lebih luas dari hukum sebagai alat karena:
1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan
hukum lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat
yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court)
pada tempat lebih penting.
2. Konsep hukkum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada
zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan
kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.
3. Apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh
sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan
hukum nasional.6
Lebih detail maka Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa:
“Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat.
Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya,
hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi
demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang
sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara,
dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun,


6 Shidarta, Karakteristik ….Ibid, hlm. 4154
yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum
tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat
membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang
hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis,
dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak
dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.”7
Dalam perkembangan berikutnya, konsep hukum pembangunan ini
akhirnya diberi nama oleh para murid-muridnya dengan "Teori Hukum
Pembangunan"8
atau lebih dikenal dengan Madzhab UNPAD. Ada 2 (dua)
aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini, yaitu: Pertama, ada
asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat perubahan
masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi
perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern.9
Oleh karena
itu, Mochtar Kusumaatmadja10 mengemukakan tujuan pokok hukum bila
direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok bagi
adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya
keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan
jamannya. Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya
kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak
mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang
diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan
ketertiban.11 Fungsi hukum dalam masyarakat Indonesia yang sedang
membangun tidak cukup untuk menjamin kepastian dan ketertiban. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar berfungsi lebih daripada
itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”/”law as a tool of social
engeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-pokok pikiran sebagai
berikut :12


7Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan
(Kumpulan Karya Tulis) Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 14

8Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai …..Op. Cit, hlm. 182 lihat juga
Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Penerbit Armico, Bandung, 1987, hlm. 17.

9Lihat Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam
Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., Penerbit PT.Alumni,
Bandung, 2002, hlm. V.

10Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun, hlm. 2-3.

11Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan ….., Ibid., hlm. 13.

12Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional,
Penerbit Binacipta, Bandung, 1995, hlm. 13.5
Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan
kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau
dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan
hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan
dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan dan pembaharuan.
Aksentuasi tolok ukur konteks di atas menunjukkan ada 2 (dua) dimensi
sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, yaitu :
 Ketertiban atau keteraturan dalam rangka pembaharuan atau
pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan
dipandang mutlak adanya;
 Hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat
berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah
pembaharuan.
Apabila diuraikan secara lebih intens, detail dan terperinci maka alur
pemikiran di atas sejalan dengan asumsi Sjachran Basah yang menyatakan
“fungsi hukum yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga
dapat berfungsi sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk
masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan
bernegara”.13 Dalam hubungan dengan fungsi hukum yang telah
dikemukakannya, Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum
dalam pengertian yang lebih luas, tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat,
melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses
(processes) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.14
Dengan kata lain suatu pendekatan normatif semata-mata tentang hukum tidak
cukup apabila hendak melakukan pembinaan hukum secara menyeluruh.
Pada bagian lain, Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan bahwa
“hukum yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai
suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institution) dan


13Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,
Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 13

14Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, 1986, hlm. 11.6
proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan”. Pengertian hukum di atas menunjukkan bahwa untuk
memahami hukum secara holistik tidak hanya terdiri dari asas dan kaidah,
tetapi juga meliputi lembaga dan proses. Keempat komponen hukum itu
bekerja sama secara integral untuk mewujudkan kaidah dalam kenyataannya
dalam arti pembinaan hukum yang pertama dilakukan melalui hukum tertulis
berupa peraturan perundang-undangan. Sedangkan keempat komponen
hukum yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan, berarti
pembinaan hukum setelah melalui pembaharuan hukum tertulis dilanjutkan
pada hukum yang tidak tertulis, utamanya melalui mekanisme yurisprudensi.
III. Konklusi
Dimensi Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M. merupakan salah satu Teori Hukum yang lahir
dari kondisi masyarakat Indonesia yang pluralistik berdasarkan Pancasila.
Pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan ini lahir, tumbuh dan berkembang
serta diciptakan oleh orang Indonesia sehingga relatif sesuai apabila diterapkan
pada masyarakat Indonesia. Selain Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. apabila diaktualisasikan pada kondisi
masyarakat Indonesia pada umumnya dan kondisi penegakan hukum pada
khususnya maka mempunyai sinergi yang timbal balik secara selaras. Aspek ini
dapat dibuktikan bahwa dalam konteks kebijakan legislasi dan aplikasi serta
dalam kajian ilmiah maka Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M. tetap dijadikan landasan utama dan krusial yang
menempatkan bahwa hukum dapat berperan aktif dan dinamis sebagai
katalisator maupun dinamisator sebagai sarana pembaharuan masyarakat
Indonesia. Tegasnya, bahwa Teori Hukum Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M. menjadikan hukum sebagai sarana pembaruan
masyarakat bukan sebagai alat pembaharuan masyarakat atau sebagai law as a tool
of social engeenering.***